Surabaya, kabarkini.net – Kebebasan Bimo Wahyu Wardjojo untuk menghirup udara bebas tampaknya akan berkurang. Sebab, ia menjadi sorotan pasca Pengadilan Negeri (PN) Surabaya tidak merubah status tahanan rumahnya yang semestinya menjadi tahanan rutan.
Ya, Ketua Pengawas Yayasan Yatim Mandiri (YYM) itu keluar masuk rumah dan bisa menghadiri kegiatan apapun. Bahkan, tanpa seizin majelis hakim PN Surabaya sekalipun.
Fakta itu terbongkar dalam sidang lanjutan kasus penggelapan, pengerusakan, dan perbuatan tidak menyenangkan di Ruang Garuda PN Surabaya siang ini. Sebab, Bimo dihadirkan sebagai terdakwa.
Dalam persidangan, Ketua Majelis Hakim PN Surabaya Sudar menegaskan bahwa Bimo sudah melanggar KUHAP. Terutama di dalam Pasal 22 KUHAP.
“Dalam pasal ini dijelaskan bahwa tersangka boleh keluar rumah apabila mendapat ijin dari penyidik, jaksa atau hakim yang memberikan perintah penahanan. Kalau dilanggar ya ditahan di rutan. Ini amanah undang-undang bukan kata saya,” kata Sudar saat sidang secara offline di Ruang Garuda PN Surabaya, Selasa (10/10/2023).
Sayang, penegasan itu ternyata tak dibarengi dengan perintah bahwa Bimo harus ditahan di rutan oleh majelis hakim. Pada agenda persidangan kali ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Nurhayati dan Melia Duta menghadirkan 3 saksi, Henny Nurmansyah, Henny Setiawan (korban), dan Mutrofin.
Saat diperiksa, Henny menerangkan bahwa perkara ini terkait perusakan dan penggelapan Surat Keputusan (SK) oleh terdakwa Bimo.
“Saya mendapat SK tersebut dari Ketua Pengurus Yayasan Pak Mutrofin. Untuk membantu penyaluran barang program berupa sosis ke Sidoarjo,” terang Henny.
Kemudian, Henny, melakukan pengambilan barang tersebut berdasarkan permintaan dari YYM cabang Sidoarjo. Namun, usai mengambil barang tersebut, terdakwa datang dan menghadang di pintu keluar.
“Terdakwa datang itu langsung parkir didepan pintu keluar otomatis mobil barang tidak bisa keluar. Lalu saya didatangi terdakwa dan menanyakan dasar saya mengambil barang tersebut,” bebernya.
Lebih lanjut Henny mengaku memberikan dua buah SK yaitu tentang pengunduran diri Imam Fahrudin sebagai direktur operasional dan pengangkatan dirinya sebagai Plt Direktur Operasional.
“Tiba-tiba dengan emosi terdakwa merobek dan meremas-remas SK itu. Lalu, saya ditunjuk-tunjuk (sambil memperagakan menunjuk keningnya),” katanya.
Tak hanya itu, sambung Henny, terdakwa lalu membawa SK tersebut. Keesokan harinya, saat meminta SK tersebut melalui pengacaranya, ternyata Bimo tidak mau memberikan.
“Lebih dari dua bulan saya minta SK saya itu. Lantaran tidak diberikan. Lalu saya somasi. Tetapi, SK itu tak juga diberikan ke saya. Akhirnya saya laporkan ke polisi,” imbuhnya.
Saat ditanya hakim anggota Suswanti darimana mendapat SK tersebut hingga bisa ditunjukkan ke persidangan, Henny menjelaskan saat diminta oleh penyidik.
“Waktu itu diminta penyidik. Kalau tidak diberikan penyidik akan melakukan penggeledahan. Akhirnya diberikan oleh terdakwa,” ucapnya.
Di tengah persidangan, untuk menguatkan dakwaannya, JPU Nurhayati menunjukkan kepada majelis hakim bukti rekaman CCTV saat Bimo merobek SK tersebut. Saat dilihat oleh terdakwa, dia pun langsung membenarkannya.
“Benar yang mulia,” ujar Bimo.
Sementara itu, saat ditanya oleh salah satu tim penasihat hukum terdakwa terkait apakah korban tahu jika kondisi kepengurusan YYm sedang bermasalah, Henny mengaku mengetahuinya.
“Iya, saya tahu. Dan menurut saya kepengurusan dibawah Pak Mutrofin tidak ada masalah. Sesuai dan prosedural,” jawab Henny.
Sedangkan terkait surat jalan untuk pengambilan barang, Henny mengaku hal tersebut tidak lazim dilembaganya. “Itu tidak lazim di lembaga kami. Jika ada permintaan dari cabang berupa barang program atau barang kebutuhan kantor ya itu nanti yang kita salurkan. Dan itu semua tercatat,” jelasnya.
Usai sidang, Rama Adam, salah satu pengacara terdakwa ketika diminta tanggapannya terkait kasus ini menyampaikan bahwa apa yang dilakukan oleh Bimo tidak masalah. (A2)
“Masih sesuai koridor,” singkatnya sambil berlalu pergi.